Menyambut Hari Kartini, saya juga mau menuliskan tentang wanita. Namun berhubung akan sangat banyak orang yang menuliskannya, saya justru akan menuliskan salah satu esai milik Umar Kayam di buku Mangan Ora Mangan Kumpul yang merupakan kumpulan esai yang terbit mingguan di surat kabar Kedaulatan Rakyat.
Pengenalan singkat para tokoh akan saya buat seringkas mungkin. Umar Kayam yang diceritakan menjadi tokoh bernama Pak Ageng, mempunyai kitchen cabinet (begitu beliau menyebut keluarga yang membantunya untuk urusan pekerjaan rumah) yang terdiri dari Mister Rigen, Mrs. Nansiyem yang merupakan istri Mr. Rigen. Suami istri pembantu rumah tangga Pak Ageng ini diceritakan mempunyai anak bernama Beni Prakoso.
Silakan dibaca esai berjudul "Eman-eman Wanita" berikut ini. Mungkin ini postingan saya yang terpanjang. Harap sabar dan telaten.
Menunggu waktu makan siang pada hari Minggu kadang-kadang terasa amat panjangnya. Apalagi kalau tidak banyak yang kita lakukan pada waktu itu. Teve dengan acara rutin yang itu-itu saja, pekerjaan lemburan sedang kosong, utang penulisan makalah sudah lunas, tidak ada kawan yang datang untuk mengobrol. Maka sempurnalah kebosanan menguasai Minggu siang begitu.
Di dapur Ms. Nansiyem menggoreng tempe, Mr. Rigen sedang memarut kelapa, Beni Prakosa memetik daun bayem. Saya dapat menduga pastilah menu makan siang itu sayur bobor bayem, tempe goreng, sambel tempe bakar dan mungkin ayam goreng atau bandeng goreng. Hampir tidak mungkin mereka akan mencantumkan empal daging sapi pada siang itu. Wong tanggalnya sudah sangat tua bongkok, mana harga-harga di pasar sudah melangit. Melihat trio kitchen cabinet saya bekerja dengan rileks, terampil dan gembira begitu hati saya ikut senang juga. Apalagi suasana anatara mereka itu bolehnya rukun begitu, lho. Mongkok hati saya. Itu pertanda bahwa dari tubuh saya cukup kuat sinar wibawa, aura, yang mengayomi mereka memancar dengan kuatnya. Bukankah itu syarat utama bagi setiap orang yang ingin madeg menjadi raja yang baik?
"Kalian pasti sedang masak jangan bobor bayem. Dan tempe, dan sambel tempe bakar. Jangan lupa sambelnya diciprati minyak jlantah biar sedep dan gurih."
"Kok Bapak tepat sekali dugaannya, lho. Padahal pagi tadi Bapak tidak dawuh macam menu apa-apa, lho."
"Ya, apa susahnya nebak kalian masak pada tanggal tua begini. Kalian pasti tidak nggoreng empal to?"
"Wah, ketebak lagi, Pakne. Siang ini cuma nggoreng bandeng, kok, Pak."
"Nah, rak tenan! Ya sudah nggak papa. Asal jangan bobornya tidak kemanisan, sambel tempenya mlekoh jlantah-nya dan bandeng gorengnya kering."
"Sip, Pak Ageng. Siip." Dan si bedes cilik Beni Prakosa mengacung-acungkan jempolnya.
"Sip ki apa, Le?"
"Sip itu enak, Pak Ageng. Jangan bobol sip. Bandeng sip. Blongkos mboten sip."
Melihat Ms. Nansiyem cak-cek dengan terampilnya menggoreng tempe, menyaut sayuran lantas dicemplungkan ke dalam panci, menyaut lagi santan yang diperas suaminya dan keringat yang dleweran dari dahinya, sekali-kali menetes ke dalam lautan jangan bobor, tidak bisa lain bagi saya selain semangkin mengaguminya. Dapur memang wilayah kekuasaannya. Di situ dia dia menunjukkan wibawanya. Dan Mr. Rigen dan Beni Prakosa memang tak bisa lain selain menerima otoritas Ms. Nansiyem itu.
"Coba, Pak. Lari sebentar angkut jemuran itu. Kayaknya mau hujan itu."
Dan Mr. Rigen, direktur kitchen cabinet yang berwibawa itu, lari dengan tergopoh diikuti anaknya. Baru saja selesai melaksanakan tugas sang istri itu, datang lagi perintah yang lain.
"Cepat pergi ke Bu Arja, Pak. Beli lombok merah dan bawang merah buat nyambel. Beni nggak usah iku, di sini saja." Dan Beni yang sudah siap bonceng bapaknya mulai membik-membik mau nangis.
"Heisj, nggak usah nangis. Katanya sudah lebih tiga tahun!" Dan suara Ms. Nansiyem begitu berwibawa hingga tangis itu tidak jadi runtuh membasahi pipi anak kecil itu. Dan begitu Mr. Rigen datang, datang perintah berikutnya.
"Cepet ulek sambelnya, Pak. Tahu-tahu kok sudah siang, lho. Sida kapiran tenan, Bapak ini nanti."
Saya yang duduk di kursi rotan di gang dekat dapur merekam itu semua dengan asyik. Dalam bulan ini sudah dua hingga tiga kali saya terlibat dalam pembicaraan tentang hak asasi wanita, jam kerja wanita, upah wanita, tidak adilnya masyarakat memperlakukan wanita. Melihat gerak-gerik dan nada dan irama Ms. Nansiyem menguasai dunia perdapuran, suami dan anaknya, makalah yang bagaimana lagi yang bisa ditulis tentang wanita?
"Ms. Nansiyem!" "Dalem, Pak!" "Kowe tahu arti emansipasi wanita?"
"Apa, Pak?"
"E-man-si-pa-si wa-ni-ta."
"Oo, eman-eman wanito, to, Pak. Lha, ya sepantesnya dieman-eman to, Pak., tiyang wedok niku...."
"Heesy, Bune, Bune. Mbok kamu jangan keminter, sok pinter, gitu, to. Matur bares, terus terang, sama Pak Ageng. mBoten ngertos, Pak."
"Nah, rungokna, dengarkan baik-baik...."
Maka sebagai pembela hak asasi wanita, sebagai pengagum wanita, saya pun lantas menjelaskan apa makna emansipasi wanita itu. Pokoknya saya jelaskan kalau emansipasi itu artinya bebas dari belenggu penindasan. Penindasan siapa? Tentu penindasan suami, penindasan keluarga sendiri. Perempuan selalu disia-siakan, wong wedok disia-sia, diperlakukan tidak adil. Dan sebagainya lagi.
Selesai menjelaskannya begitu saja diam. Mengamati wajah trio anggota kitchen cabinet itu. Mereka menatap saya dengan wajah melongo. Mungkin sedang mencoba mencerna kuliah saya yang sangat bermutu dan canggih itu. Ah, mereka tidak menyadari bagaimana beruntung mereka punya majikan priyayi Korpri, elite birokrasi seperti saya. Tidak semua pembantu dapat privilese keistimewaan, mendengarkan kuliah yang begitu bukan? Kuliah yang akan membuat mereka batur-batur yang progresif dan berwawasan luas! Tiba-tiba seperti orang yang baru lepas dari hipnotis mata mereka membelalak melihat kepada wajan di kompor. Asap mengepul. Bau gosong.
"Matik aku, Pakne. Bandenge gosong, bandenge gosong. Cepet, cepet, angkat, Pakne. Minyaknya dibuang, wajane digrujug air!" Dengan sebat trio saya itu cak-cek membereskan krisis sebentar itu. Bau asap gosong memang masih terasa, tetapi suasana sudah mulai tenang kembali. Celaka, sedikitnya ada empat bandeng yang menjadi areng, gosong. Malam nanti makan apa?
"Pripun kalau begini, Pak."
"Lho, kok pripun?"
"Gara-gara Bapak ndongeng ngeman-eman (menyayangi) wanito bandengnya gosong sedaya. Bukan salah saya, bukan salah saya, Pak." saya tertegun melihat rasa bersalah menguasai wajah Ms. Nansiyem.
"Terus nanti malam Bapak harus dahar apa, coba? Tanggal tua anggarannya sudah menipis? Makanya kalo orang baru kerja itu, Bapak jangan ngganggu, to. Lenggah saja sing eca. Sudah, nanti malam manggil sate saja, nggih!"
Wah, di depanku bukan lagi Ms. Nansiyem anak buah Mr. Rigen dalam kitchen cabinet. Di depanku adalah Madam Rigen yang ambil inisiatif merigenkan semuanya. Dan kami yang ada di depannya manggut-manggut manut beliau belaka.
Eman-eman wanita, eman-eman wanita. Eman-eman bandenge gosong sedaya.... (sayang bandengnya gosong semua)
22 Desember 1987
NB: Seperti halnya salah satu episode film kartun Spongebob Squarepants, dimana terjadi perdebatan sengit tentang siapakah yang paling hebat antara hewan darat dengan hewan laut. Pada akhirnya akan sia-sia mendebatkan itu. Kenapa tak mencoba berjalan beriringan saja?
Lagian, ngeman-emani wanita yang kita sayangi kan suatu keistimewaan sendiri tho? Eman-eman kalo tidak di eman-emani!!! (Sayang kalo tidak disayangi) Labels: cinta, ndeso, sawang-sinawang hidup, sugih tanpa banda
baca selengkapnya..
|