Anda mengamati gak kalo sekarang itu jargon sangat penting. Lebih penting dari si pemilik jargon itu sendiri sebenarnya. Jargon begitu mengena, sehingga khalayak tak peduli siapa yang menjargonkan masyarakat atau memasyarakatkan jargon.
Sepanjang hayat saya, saya selalu menempatkan diri atau kalo boleh dibilang selalu menganggap diri saya sebagai golongan kedua baik dari segi harta maupun kepintaran. Pinter sih enggak namun agak bodo. Saat anak-anak seusia saya sibuk belajar mengejar rangking sembari cicip-cicip "kehidupan" dewasa, saya malah tersisih karena sibuk dengan proyek naik gunung saya.
Bahkan sampai sekarangpun di dunia kerja saya masih suka menempatkan diri disisi yang idiot alias bento goblok. Minimal, apa yang menurut saya itu agung, namun bukan hal yang sama buat orang lain.
"Kamu tu punya ilmu harus dipakai, masa setiap hari kamu berkutat dengan hal yang diluar pekerjaanmu, meski kamu tepat waktu dalam semua pekerjaanmu namun saya merasa bahwa bangku sekolahmu itu sia-sia.
Ucapan itu beberapa hari lalu saya dengar. Alasan saya ndak mau terlalu ngoyo dalam hal bekerja (buktinya saya selalu ngeblog) adalah karena saya ndak ingin saya terlalu mengejar duniawi. Pekerjaan saya mau gak mau sangat beresiko dengan yang namanya penyelewangan finansial seperti yang banyak terjadi.
Buat orang lain sifat saya seperti itu sangat keterlaluan idiotnya. Namun minimal bini saya menganggap saya jenius... Walah... saya ini ngomong apa sih????
|
akh...
punya ilmu harus dipakai? tergantung profesinya lah...
banyak kok pegawai Bank yang latar belakangnya sarjana Pertanian, atau Pegawai Departemen Agama yang dulunya alumnus Teknik Mesin.