Sebenarnya saya sudah ngetik tulisan yang cuman kopi paste surat dari teman saya yang bekerja jadi guru SD di sebuah pulau deket betawi nun jauh di sana. Namun saya pas minta ijin suratnya ditampilin diblog (dan di milis) dia buru-buru sms saya dan meminta agar jangan ditampilin.
Oke, dengan tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada orang lain, biarlah surat empat lembar kertas folio bergaris (sisa lembar ujian anak didiknya barangkali, wong ada capnya...) saya intepretasikan semau saya.
Teman saya ini selama yang saya kenal selalu mengutamakan kepentingan orang lain, sejak lulus sma dia milih ndak kuliah dan terjun ke dunia pekerja sosial. Ya, meskipun akhirnya dia manut ibuknya untuk nyelesaiin kuliahnya namun dia tetep gak mau meninggalkan dunianya itu.
Lulus kuliah tentu saja dia jarang sekali mengkhususkan waktu mencari pekerjaan karena dunia endonesia proletar telah menjadi belahan hatinya. Namun dia toh tetep manusia juga tho? Kalo lalu dia naksir calon dokter gigi di kampusnya dan akhirnya jadi sepasang kekasih yo gak salah tho?
Seperti halnya mertua kebanyakan, apalagi menghadapi sang calon menantu yang aktipis dengan badan kurus, tampang kucel dan acak-acakkan pola hidupnya itu pasti males juga melepas anak cewek tercantiknya buat dikawinin oleh laki2 yang sehari-harinya makan sekali sehari itupun cuman nasi, orek tempe dan grujukan kuah sayur santen di warung tegal yang kumuh.
Toh, masa-masa itu berlalu juga. Sang mertua akhirnya luluh, karena sang menantu mau bekerja seperti orang kebanyakan juga. Namun gak lama karena kemudian sang menantu malah pindah kerja jadi guru di sebuah pulau yang meskipun deket dengan jakarta namun alangkah jauh bedanya dengan jakarta.
Menjadi guru dan sekaligus kepala sekolah, penjaga sekolah (ndak ada fasilitas rumah dinas) juga guru ngaji di sore hari. Orang macam saya ini tentu cuman bisa melihat, wah keren ya dedikasinya... ck.. ck.. ck.. aku belum mampu kalo suruh gitu. namun yang gak kita ngerti kan bagaimana dia melewatkan hari-harinya. Penghasilan yang pas-pasan. Itupun ketambahan sering nombokin uang sekolah anak-anak didiknya.* Anaknya yang masih kecil dan jarang bersamanya karena tinggal bersama ibunya di jakarta. Atau mertuanya yang makin sebel ngelihat dia belum sembuh juga dari penyakit lamanya (yang dulu dikira cuman gejolak aktifis muda).
Lalu pada suatu hari dia pas kebetulan nengok anak bininya di jakarta lalu ikut datang di sebuah acara bakti sosial yang dilaksanakan teman-teman aktifisnya dulu, dia malah diasingkan...
Dia dianggap murtad dari dunia "sosialis" dan mementingkan kehidupan pribadi. Jadi komplotan pemerintahlah, karena dia sekarang jadi PNS (digaji oleh pemerintah yang dulu paling sering diteriakin oleh mereka bersama). Sedang semua teman-temannya masih solid bersama-sama bergerak membela masyarakat lemah di negeri kacau balau ini.
Dan teman saya yang berwatak bima** ini sama sekali tak mengucap sepatah katapun untuk membela diri. Dia yang pagi harinya berantem dengan mertuanya, berselisih dengan istrinya yang ingin mendamaikannya dengan sang mertua, malu dengan ibunya yang lama tak dikunjungi, lalu siangnya dicemooh teman2nya???
Dengan protokol sewajarnya dia berpamit pulang lantaran merasa ndak enak berada disitu. Seperti menyatu dengan tanah kakinya terseret melangkah, seperti gravitasi melambung matanya tiba-tiba berat, seperti tiba-tiba musim kemarau berakhir karena matanya tak berhenti berair, dan seperti dimasuki sebuah mercon kudus sebesar beduk masjid demak hatinya berkeping-keping dan runtuh terinjak kakinya sendiri....
Perlahan dia menyusuri parkiran, melewati mobil-mobil milik teman-temannya***, menuju parkiran motor dimana dia menaruh motor honda C-70 yang setia menemaninya sejak jaman kuliah dulu dan saksi bisu semua perjuangan idealisme dan cintanya selama ini.
Dan lagi-lagi (seolah dia kekurangan cobaan) sepeda motornya mogok dan terpaksa dia menuntunnya ke bengkel terdekat...
Di bengkel, sang montir yang tak berdosa dan tak tau apa-apa itu nyeletuk: "mbok motornya ganti yang baru saja pak..."
* : beberapa tetangga beberapa kali menasehati teman saya agar berhenti membayarkan uang sekolah anak-anak didiknya karena konon banyak yang pura-pura ndak mampu. ** : ngomong seperlunya saja *** : belakangan dia tahu kalo temen-temennya dibekingi korporasi besar sehingga kehidupan pribadi mereka lumayan layak. |
Saya kok makin merasa kerdil bang...