Menurut saya kita ini terlatih untuk memandang segala hal dari segi rumitnya dulu. Bukan hanya dari segi politik, keseharian kita saja suka sok rumit dan ndakik-ndakik tinggi omongan ning ndak ada isinya. Kelakuan australia disambut dengan amarah warga indonesia terutama oleh kebanyakan warga non-papua, yang marah karena Australia dianggap mau mencaplok Papua!! (lho?). Bukan, bukannya saya gak nasionalis, namun apa yang demo-demo itu ndak mikir kalo jadi orang papua itu ndak enak? Sejak Paijo tugas di Ternate, Paijo juga menemukan hal-hal kecil yang bener-bener Paijo prihatin dengan kondisi orang Papua. Lahir jadi orang asli Papua aja ngurangin nilai derajat kita di mata masyarakat non-papua. Bagaimana tidak?
Pertama: bangsa Indonesia yang rame2 marah2 ke australia itu pasti minimal meringis ngeliat orang papua. Malah mungkin ada yang mbatin dan memuji Tuhan: "Alhamdulillah, kulit saya ndak sehitam itu.." Seolah-olah warna kulit hitam itu dosa. (terima kasih kepada produk kecantikan yang kembali melontarkan gagasan rasisme: "Putih itu cantik!!") Kedua: "Orang Papua bodo-bodo!!" begitu anggapan semua orang yang pernah secara langsung bertemu orang papua. Tanpa mereka sadari mungkin sejak kecil mereka tanpa sengaja bertindak aniaya kepada jutaan anak papua untuk masalah pendidikan. Dimana tiap buku pelajaran yang berganti tiap catur wulan itu penghianatan terbesar bagi mereka yang ndak pernah sama sekali mendapat benda yang namanya buku. Papua juga masih dianggap manusia2 bodoh tanpa mempedulikan bahwa anak muda papua pun masih ada yang berprestasi seperti siapa itu yang ikut olimpiade fisika. Atau matematika? (Arrgh!! buat saya kasus Nipam alias Nia Paramitha lebih harus saya hapal) Kita marah kepada australia... bahkan sedikit mengutuk kepada orang-orang yang meminta suaka kepada australia tersebut. Sodara pernah ke papua?? pernah tinggal disana? Teman saya yang penempatan pontianak saja mengeluh lho!! Tidak ada gramedia katanya!! Betapa tidak tahunya kita cara bersyukur, sehingga isi hidup kita cuma mengeluh, memaki dan menghina... Kita tidak melihat kenyataan bahwa tinggal di papua itu sudah tidak enak eh malah ditindas oleh orang-orang yang katanya bangsa dewek!! Bukankah kita menyalahkan amerika atas kasus freeport? sedang kita menutup rapat mata kita kepada mereka yang memprakarsai ijin freeport untuk bisa bercokol di Papua sekian tahun? Tanyakeun pada temen sodara yang nyambung hidup di timika sana, bagaimana hidup disana, mungkin jawabannya akan khas pelawak Alm. Gepeng: "untung ada freeport!!" Bangsa kita memang bangsa semelekete yang ngumbar lambe congor kita seenak udel kita!! Bangsa kita mencaci dan super-sinis bahkan kepada sodara sendiri. (Sampeyan termasuk orang yang meringis saat FPI ngamuk soal Playboy? bukankah FPI itu bentuk keputus-asaan atas apa yang menimpa bangsa kita ini? Ha kok malah ditanggepi sinis lho!!!) Kita melihat sesuatu terlalu rumit... mending memandang diri kita tanpa cermin dulu. Kenalan lagi dengan Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua juga lainnya!! berubah konsep... Kalo bukan sekarang, kapan lagi? Kalo bukan kita, siapa lagi? Mulailah dari yang kecil: diri kita.... Jo, kowe itu ngomong apa sih? Kamu itu siapa? Terus apa hubungan dengan judul tulisan ini? Suatu hari temen saya membeli martabak di swering lalu ditanya sama penjualnya: "mas orang jogja ya?" Lalu temen saya itu menjawab: "Weh! tau darimana? Muka saya keliatan orang jogja ya? Atau gaya ngomong saya? Atau gaya jalan saya yang nggak seperti orang maluku? Atau aura saya?" Penjual itu senyum dan menjawab: "Itu lho dari jaketnya mas, Universitas nGGajah Mada!!!" Sawang sinawang bisa diartikan memandang. Bukankah kita sering kali terlalu jauh dalam memandang sesuatu?
|
Bang, kalau menurut peribahasa jadi: Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak.
Tapi terlepas dari masalah Papua, saya membenci Australia!!!